Daftar Blog Saya

Jumat, 04 Maret 2011

Setitik Cahaya Ibu

“Bulan itu indah ya Bu..?”“Iya...! Indah sekali.”“Ibu sudah pernah ke bulan?” tanya anak kecil itu dengan polosnya.“Ibu belum pernah ke bulan, tapi ibu pernah diceritakan tentang bulan oleh nenekmu.”“Benarkah Bu? Nenek pernah cerita tentang bulan?”“Iya… Tapi ibu lebih senang ketika nenek menceritakan tentang matahari.”“Memangnya kenapa, Bu?” ucap anak kecil itu dengan wajah heran.Dari kejauhan, terlihat seorang pemuda sedang mendengarkan percakapan ibu dan anak itu. Pemuda itu dari tadi sore masih saja duduk melamun sambil memperhatikan sekeliling taman. Memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di hadapannya. Ia tidak tahu harus pergi kemana. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Dalam hatinya berucap, “Aku tidak mau hari ini berganti hari esok.” Karena ia tahu, bagaimana ia mampu menghadapi hari esok kalau hari ini saja ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan dan harus kemana ia pergi.Pemuda itu terlihat amat gelisah. Wajahnya pucat tak berseri. Entah kegelisahan apa yang merasuki hatinya, sampai-sampai ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan dan kemana ia harus pergi? Kenapa ia berada di taman itu dari sore hingga malam? Apa tidak ada hal lain yang dilakukannya selain duduk melamun, berdiam diri tanpa melakukan apapun? Mungkin ia ingin menyendiri di taman itu. Atau mungkin ia tidak ingin pulang ke rumahnya karena ada sesuatu yang tidak di inginkannya? Hanya hatinya yang mampu menjawab.”Sungguh beruntung sekali anak itu, memiliki ibu yang begitu sangat menyayanginya. Seandainya saja dia adalah ibuku, aku pasti akan menjadi anak yang paling bahagia di dunia ini.” ucapnya dalam hati dengan mata sedikit berkaca-kaca.”Aku benci ibukuuuuuuuuuuuuuuu....!!” teriak pemuda itu.Dalam hatinya ada perasaan iri terhadap anak itu. Ia benci dengan nasibnya. Kenapa ia tidak memiliki ibu yang baik seperti anak itu. Ia hanya bisa berandai-andai. Ia hanya bisa berangan-angan dan ia hanya bisa menahan air mata yang ingin ia tumpahkan sampai habis. Hingga tidak ada lagi air mata yang menetes setiap kali ia merenungi nasibnya.Seperti tidak bosan, ia selalu saja memandangi ibu dan anak itu. Pandangannya masih saja tertuju pada ibu dan anak yang sedang bersenda gurau itu. Masalah yang selalu mengganggu hati dan pikirannya, sedikit terlupa oleh kebahagiaan antara ibu dan anak itu. ***Tidak terasa ternyata malam mulai larut. Ibu dan anak kecil yang ia pandangi berjam-jam itupun sudah pergi dari tadi. Semua orang yang ada di taman perlahan menghilang dalam pandangannya. Ia hanya mendapatkan kegelapan yang nampak di pelupuk mata. Ia hanya mendapatkan kesunyian. Kesunyian yang menunjukkan bahwa tidak ada lagi manusia yang berkeliaran di taman itu. Yang ada hanya jangkrik-jangkrik bernyanyi, seakan bahagia karena tidak pernah mempunyai masalah dalam hidupnya. Yang ada hanya suara angin malam berhembus sangat kencang. Berhembus hingga menyentuh tubuhnya yang dari tadi menggigil kedinginan. Suara petirpun bergeming sangat keras seakan ingin berbagi kebahagiaan dengan dirinya yang sedang bersedih.“Sepertinya hujan akan turun malam ini. Aku harus segera mencari tempat untuk berteduh.” kata pemuda itu sambil pergi meninggalkan taman.Mendung tak dapat ditahan. Hujanpun turun. Ia pergi berlari mencari tempat berteduh, berlindung dari dinginnya air hujan yang turun perlahan. Cuaca malam itu memang buruk. Seburuk hatinya kini. Bahkan mungkin lebih buruk lagi. Buruk oleh masalah yang tidak pernah ia inginkan. Masalah yang membuatnya harus pergi meninggalkan rumah tanpa pamit dan doa dari sang ibu. Mungkin ia tidak ingin pamit dan tidak sudi mendapatkan doa dari seorang ibu yang telah membuatnya kecewa. Seorang ibu yang telah membuatnya benci pada sosok ibu yang selama ini ia banggakan. Benci pada ibu yang telah mempertaruhkan nyawa demi melahirkannya. Kebencian itu yang membuat ia tidak lagi ingin berjumpa dengan ibunya. Dan kebencian itulah yang membuat ia pergi tanpa mendapat restu dari sang bunda. Namun, dalam hatinya masih ada sebentuk penyesalan dan rasa bersalah. Ia menyesal, merasa bersalah karena telah memperlakukan ibunya seperti itu. Tapi ia juga benci pada ibunya karena telah melahirkannya dengan nasib seperti itu. ”Setiap orang memang memiliki nasib yang berbeda, tapi kenapa aku yang harus menerima nasib seperti ini? Kenapa harus aku yang menanggung nasib seperti ini? Kenapa tidak orang lain saja?” gumamnya.Sambil terus bertanya dalam hati, ia berlari menghindari air hujan yang kian lama kian lebat. Ia mencari tempat perlindungan dari pohon satu ke pohon lain. Namun tidak ada satu pohonpun yang mau memberikan perlindungan kepadanya. Tidak ada satu pohonpun yang sudi memberikan perlindungan dari derasnya air hujan yang turun. Air hujan masih saja dapat menyentuh tubuhnya yang tinggi dan kekar itu.“Apakah aku begitu berdosa karena telah memilih keputusan ini? Apakah hujan, petir, angin dan pohon-pohon ini pertanda kalau aku salah dalam mengambil keputusan?” hatinya terus diterpa pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa ia jawab sendiri.“Kalau saja ayahku masih ada, semua ini pasti tidak akan terjadi. Kenapa nasibku seperti ini? Kenapa Engkau mengambil nyawa ayahku begitu cepat, Tuhan? Aku belum sempat merasakan kebahagiaan bersama ayahku, Tuhan?” Ia terus bergumam hingga meneteskan air mata yang dari tadi ia tahan sambil terus berlari mencari tempat berteduh.***Setelah sekian lama berlari dari satu pohon ke pohon yang lain, ia menemukan sebuah gubuk kecil yang tampak gelap dan sepi. Gubuk kecil yang berdiri sendiri di atas padang rumput yang luas dengan didampingi pohon jambu yang berputar mengelilingi gubuk. Seakan melindungi gubuk itu dari hujan, angin dan petir yang datang di malam itu. Namun sepertinya tidak ada penghuni di gubuk kecil itu. Gubuk itu terlihat sepi. Sepi sekali. Tak nampak cahaya yang menerangi gubuk kecil itu.Perlahan ia berjalan menuju gubuk kecil itu. Ia perhatikan sekeliling gubuk. Yang ada hanya pohon-pohon jambu yang indah mengelilinginya. Ia tampak heran, karena baru kali ini ia melihat sebuah gubuk yang berdiri di tengah padang rumput yang sepi tak berpenghuni.”Siapa gerangan penghuni gubuk kecil ini?” ucapnya pelan.“Ah, pasti tidak ada penghuninya. Mana mungkin ada orang yang mau tinggal di gubuk kecil yang gelap dan sepi ini?” ujarnya.Ia terus memperhatikan gubuk kecil itu. Karena terdorong oleh rasa penasaran, kemudian ia mencari lubang, bermaksud ingin melihat ke dalam gubuk. Namun ia tidak menemukan lubang di gubuk itu. Walaupun kecil dan sangat sederhana, ternyata gubuk itu cukup tertutup rapat. Namun rasa ingin tahu terus mengganggu hatinya. Ia terus mencari lubang di gubuk itu. Ia menganggap gubuk itu pasti ada sela-sela lubangnya. Anggapannya memang benar. Akhirnya ia menemukan sebuah lubang dari sela-sela samping gubuk yang mampu menerawang ke dalam. Lubang itu memang kecil, tapi matanya cukup jelas untuk memandangi semua yang ada di dalam gubuk itu. Matanya yang kanan terus mencari sesuatu yang dari tadi masih saja belum menghapus rasa penasarannya. Di dalam gubuk itu ia melihat sebuah ruangan sempit yang tidak ada apa-apa selain kasur tipis, sepasang bantal dan sebuah guling. Di samping kasur tipis, ia lihat meja kecil terbuat dari bambu yang di atasnya terdapat sebuah lilin kecil yang tidak cukup untuk menerangi ruangan itu.Sambil terus melirik ke kanan dan ke kiri, dalam hatinya timbul sebuah pertanyaan, “Siapa gerangan penghuni gubuk ini?”“Maaf… Anda sedang apa di sini?” tiba-tiba terdengar suara seorang ibu bertanya."Hah...!” pemuda itu terkejut.”Ma.. Maaf Bu… Mmm.. Saya tersesat Bu...” jawab pemuda itu dengan sedikit gugup. “Oh… Ayo kita masuk dulu..! Sudah malam, tidak baik berada di luar rumah!” ibu itu mengajaknya masuk ke dalam gubuk.“Iya Bu, terima kasih." jawab pemuda itu sambil melihat wajah ibu pemilik gubuk kecil itu.Pemuda itu terus memandangi wajah ibu itu yang terlihat tidak asing di matanya. Ia seperti pernah melihat wajah ibu itu. Ia terus mengingat-ingat wajah ibu itu."Sepertinya aku pernah melihat ibu itu. Tapi dimana yah?” gumamnya dalam hati. ”Eh, kok malah bengong? Ayo masuk!"”Iiii..iya Bu.” jawab pemuda itu kaget.Pemuda itupun masuk atas perintah pemilik gubuk. Pemilik gubuk itu bernama Srimulyani, tapi biasa dipanggil Bu Sri. Menurut pengakuan tetangganya yang dulu, Bu Sri terkenal orang yang sangat baik, ramah, dan senang sekali menolong orang lain yang sedang kesusahan. Bu Sri sebenarnya mempunyai suami dan dua orang anak perempuan yang cantik. Dulu Bu Sri hidup dengan keluarga lengkap dan berkecukupan. Namun semua itu kini telah hilang. Yang tersisa hanya seorang gadis kecil yang kini sedang tertidur pulas walaupun tidur di atas kasur tipis dan ruangan serta penerangan yang alakadarnya.Setelah berada di dalam gubuk Bu Sri, pemuda itu terlihat kebingungan. Karena apa yang ia lihat di dalam gubuk itu tidak seperti apa yang ia lihat di lubang tadi.Di lubang tadi ia tidak melihat gadis kecil yang sedang tertidur pulas di atas kasur tipis. Mungkin tadi ia tidak melihat keseluruhan isi ruangan itu, atau mungkin tadi ia tidak bisa melihat gadis kecil yang sedang tidur karena terlalu gelap. Ruangan itu memang hanya diterangi oleh lilin kecil yang tidak seberapa pencahayaannya.“Silahkan duduk,” ajak Bu Sri.“Iya Bu. Terima kasih.”“Sebentar ya, ibu buatkan teh hangat dulu.”“Duh, tidak usah repot-repot Bu.”“Tidak apa-apa.” ucap Bu Sri dengan nada pelan sambil menepuk pundak pemuda itu.Lalu Bu Sri pun pergi ke belakang bermaksud membuatkan teh hangat untuk pemuda yang dari tadi terlihat menggigil akibat kedinginan. Bagaimana tidak? Baju yang dikenakan pemuda itu basah kuyup akibat hujan deras yang mengguyurnya tadi. Belum lagi dari tadi ia berada di luar dengan angin malam yang berhembus kencang menyentuh tubuhnya.Sementara Bu Sri sedang membuat teh, pemuda itu melihat-lihat apa yang ada di sekelilingnya.Pandangannya terhenti ketika ia melihat sebuah foto keluarga Bu Sri. Di foto itu ia melihat dua anak perempuan kembar yang cantik dan seorang laki-laki paruhbaya di samping Bu Sri.”Ya, benar! Aku memang pernah melihat ibu ini dan salah satu anak kembarnya. Tapi dimana ya?” pemuda itu diam sambil terus mengingat.”Oooh ya.. Aku ingat sekarang! Ibu dan gadis kecil ini kan yang aku lihat berjam-jam di taman itu.””Eh, di foto ini ada empat orang. Tapi kenapa penghuni gubuk ini hanya seorang ibu dan seorang anak kecil kembar yang ada di foto ini saja? Lalu laki-laki dan anak kembar yang satu lagi kemana ya?” sambil terus memperhatikan foto itu.Sambil tersenyum manis, Bu Sri datang dengan membawa dua gelas teh hangat di atas nampan yang terbuat dari kayu. Bu Sri tersenyum melihat pemuda itu yang sedang melihat foto keluarganya yang dulu. Dulu keluarga Bu Sri memang masih lengkap dan serba kecukupan. Namun setelah kejadian itu, Bu Sri kini hanya tinggal bersama seorang puterinya. Waktu itu suami Bu Sri dituduh korupsi oleh sejumlah teman bisnisnya di perusahaan tempat suaminya bekerja. Semua barang-barang serta rumahnya disita oleh pihak kepolisian. Lebih parahnya lagi suami Bu Sri bunuh diri di penjara karena tidak sanggup menerima semua kenyataan pahit itu. Lalu selang beberapa minggu, puteri kembarnya yang satu meninggal akibat kelaparan karena sudah berhari-hari tidak makan. Namun akhirnya Bu Sri membangun sebuah gubuk kecil ini. Ia pun mencoba bekerja untuk mempertahankan hidup bersama puterinya. Bu Sri menjalani hari-hari hanya ditemani seorang puteri yang sangat disayanginya. Walaupun begitu Bu Sri tetap tegar menjalani hidup yang kini serba apa adanya. Karena Bu Sri yakin bahwa semua itu adalah bagian dari cobaan Tuhan yang diberikan kepadanya. Bu Sri juga yakin kalau Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada hambanya jika hambanya tidak mampu menjalani cobaan itu.”Silahkan diminum tehnya Dik, mumpung masih hangat?””Oh iya... Terima kasih banyak, Bu.” jawab pemuda itu sambil mengambil secangir teh.”Ngomong-ngomong, nama Adik siapa?” tanya Bu Sri yang dari tadi ingin tahu.”Mmm... Nama saya Abi."”Oh.. Abi. Saya Srimulyani, tapi biasa dipanggil Bu Sri.” Bu Sri memperkenalkan diri.”Terus memang Adik dari mana dan mau kemana?” lanjut Bu Sri.Abi terdiam sejenak. Ia bingung apa yang harus ia jawab. Ia bingung karena tadi ia sudah berbohong kepada Bu Sri. Ia bingung apa ia harus berkata jujur kepada Bu Sri, atau ia tetap menyembunyikan kebohongannya itu. Namun tatapan mata Bu Sri menenangkan hatinya. Membuatnya merasa nyaman untuk mencurahkan segala kegelisahan yang sedang merasuki hatinya kini.”Ah, mungkin Bu Sri bisa memberikan jalan keluar dari masalahku ini. Aku harus berkata jujur padanya,” ucap pemuda itu dalam hati.”Mmmmmm.. Maafkan saya Bu. Saya tadi berbohong?””Bohong?? Maksud Dik Abi??” tanya Bu Sri bingung.”Sebenarnya saya bukan tersesat, tapi saya kabur dari rumah. Maafkan saya Bu? Saya tidak tahu harus pergi kemana lagi.” Bu Sri hanya tersenyum mendengar ucapan Abi.Kemudian Bu Sri menebak-nebak dalam hatinya, kenapa Abi kabur dari rumahnya, "Aku yakin ia pasti sedang ada masalah." tebak Bu Sri dalam hati. Hal seperti ini memang bukan sekali dua kali ditemukan oleh Bu Sri. Dulu juga ia pernah menemukan dua orang pemuda yang mendatangi gubuknya karena lari dari rumah dengan membawa masalah. Entah ada apa dengan gubuknya? Kenapa banyak pemuda yang membawa masalah datang ke gubuk mungilnya itu? Namun Bu Sri selalu bersyukur karena ia masih bisa menolong orang lain walaupun ia sendiri masih membutuhkan pertolongan.***Abi menceritakan semua masalahnya kepada Bu Sri. Ia tumpahkan semua kesedihan, semua kegelisahan serta semua kebingungan yang selama ini mengganggu pikirannya. Abi memang sedang berjuang melawan masalah yang selalu mengganggu hati dan pikirannya. Masalah yang membuatnya benci pada ibu kandungnya sendiri. Hingga kebencian itu membuatnya tidak ingin berjumpa dengan ibunya. Bu Sri dengan senang hati mendengarkan semua yang ingin dicurahkan Abi.”Ibu saya seorang pelacur Bu.” ucap Abi sambil meneteskan air mata.”Saya benci ibu saya. Memang tidak ada pekerjaan lain apa selain menjadi perempuan kotor?” ucapnya dengan penuh emosi.”Kenapa harus aku yang menanggung semua ini?””Kenapa harus aku yang mempunyai ibu yang memalukan seperti dia?"”Sabar Abi, sabar! Jangan kamu salahkan ibumu seperti itu.” kata Bu Sri bermaksud menenangkan Abi.”Tidak seharusnya kamu menyalahkan ibumu. Tidak ada yang patut dipersalahkan dengan keadaan ibumu yang seperti itu.” ucap Bu Sri sambil terus menenangkan Abi. Ternyata terjawab sudah kenapa Abi begitu benci pada nasibnya, pada ibunya dan semua kehidupannya. Kebencian Abi terhadap ibunya memang beralasan. Abi benci pada ibunya karena ibunya memilih menjadi seorang pelacur untuk menghidupi keluarganya. Ibunya mungkin menjadi seorang pelacur setelah kematian ayahnya. Setelah ayahnya meninggal, ibunyalah yang menjadi tulang punggung keluarga. Namun Abipun berusaha untuk menghidupi keluarga dengan menjadi kuli panggul. Mungkin pekerjaan Abi tidak cukup untuk menghidupi mereka. Oleh sebab itu ibunya mempertahankan profesinya sebagai seorang pelacur. Itu memang terdengar sangat menyakitkan hati Abi. Abi baru tahu bahwa ibunya seorang pelacur dari temannya yang melihat ibunya berada di salah satu tempat hiburan malam dengan digandeng oleh dua orang laki-laki hidung belang. Awalnya Abi tidak percaya dengan semua yang dikatakan oleh temannya itu. Namun kemudian Abi memberanikan diri untuk membuktikan apakah benar ibunya seorang pelacur. Ternyata apa yang dikatakan temannya memang benar adanya. Abi melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa ibunya sedang berdua-duaan dengan seorang lelaki yang sama sekali tidak terlihat seperti laki-laki baik.”Abi... Hidup adalah kenyataan yang harus kamu nikmati. Bersyukurlah dengan apa yang kamu miliki hari ini. " ucap Bu Sri bermaksud menasehati Abi.”Kamu tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya kamu miliki sebelum apa yang kamu miliki itu hilang,” lanjut Bu Sri.”Kamu beruntung masih mempunyai ibu yang sangat menyayangimu. Ibu yakin kalau ibumu bekerja seperti itu, semata-mata hanya ingin membahagiakan kamu. Beliau pasti tidak ingin anaknya kesusahan dan kelaparan,” ucap Bu Sri sambil mengelus pundak Abi.”Abi... Apa yang kamu alami saat ini masih jauh lebih baik dibandingkan dengan apa yang Ibu alami dulu!" tegas Bu Sri.Bu Sri juga menceritakan kisahnya yang jauh lebih menderita dulu. Ia menceritakan betapa sangat menderitanya ia ketika harus kehilangan semua kebahagiaan bersama keluarganya yang utuh. Ketika ia harus kehilangan apa yang dimilikinya dengan sangat menyedihkan. Ketika ia harus kehilangan dua orang yang sangat ia sayangi.Kemudian ia juga menceritakan bagaimana ia mampu untuk tidak menyesali nasibnya. Bagaimana ia sabar dan tegar ketika ia diberi cobaan yang begitu berat oleh Tuhan. Dan bagaimana ia mampu menjalani hidup dengan mensyukuri apa yang ia miliki saat ini.”Abi... Ibumu pasti saat ini sedang mengkhawatirkanmu. Beliau pasti gelisah memikirkanmu,” ucap Bu Sri menyadarkan Abi.”Seharusnya kamu memberikan pengertian kepada ibumu bahwa apa yang beliau kerjakan selama ini adalah salah.””Jangan kamu tinggalkan beliau dalam kondisi seperti ini.””Abi... Pulanglah kamu kepada ibumu.”Abi terdiam dan meneteskan air mata mendengar ucapan Bu Sri yang menyadarkannya akan kesalahan yang telah diperbuatnya selama ini. Ucapan Bu Sri membuatnya merasa bersalah karena telah menyia-nyiakan kasih sayang ibunya yang kini ia benci. Kemudian Abi bersujud memohon ampun kepada Tuhan. Ia berjanji mulai detik itu, ia tidak akan pernah menyia-nyiakan kasih sayang ibunya lagi. Bu Sri pun tidak kuasa menahan tangis ketika melihat Abi bersujud memohon ampun kepada Tuhan.***Akhirnya ia bisa tidur dengan tenang tanpa harus memikirkan masalah yang selama ini telah mengganggu kehidupannya. Mengganggu hati dan pikirannya. Ia mampu tidur tersenyum walaupun tidur di atas lantai tanpa alas. Walaupun tidur tanpa dibalut selimut. Walaupun tidur di dalam gubuk kecil yang sempit.Lalu keesokan harinya Abi pulang dengan wajah berseri. Ia ingin sekali berjumpa dengan ibunya. Ia ingin segera bersimpuh di kaki ibunya untuk memohon maaf kepada ibunda tercinta yang telah ia benci. Ia sudah tidak sabar ingin memeluk tubuh ibunya untuk melepas semua kerinduannya.Sinar mentari pagi menemani langkahnya yang masih kokoh walaupun sudah cukup jauh berjalan.Ia terus berjalan sambil menatap langit biru yang indah dihiasi sang mentari. Sang mentari yang telah memberikannya sebuah motivasi untuk menjalani kehidupannya.Ia sangat bersyukur karena telah dipertemukan dengan Bu Sri yang menyadarkan dirinya dari kesalahan karena telah menyia-nyiakan kasih sayang tulus dari ibunya. Ibunya yang rela menjadi seorang pelacur demi membahagiakannya. Namun memang itulah betapa besarnya perjuangan seorang ibu. Seorang ibu akan melakukan apapun demi membahagiakan anaknya.Walaupun harus menjadi seorang pelacur sekalipun.Ia tidak akan pernah melupakan perkataan Bu Sri, ”Jadilah kamu seperti matahari di langit. Ia tidak pernah menyesal diciptakan hanya untuk memberi kehidupan kepada umat manusia yang tidak pernah memberikan timbal balik kebaikannya. Bahkan tidak sedikit manusia yang menyia-nyiakan apa yang telah diberikan oleh sang mentari.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar